Pandangan GAM Wilayah Linge Terhadap Pers Pada Masa Konflik Aceh

Foto: Mbak Fera reporter Metro TV dan Wakil Panglima GAM, Tengku Halidin Gayo alias Pang Jangko Mara

Oleh: Fauzan Azima

Kami bisa membayangkan bagaimana sulitnya pers menyajikan berita pada masa konflik Aceh. Pada waktu itu, prinsif idealisme dan profesionalisme dalam menyampaikan berita yang benar-benar fakta “terpaksa” mereka olah sedemikian rupa dalam tekanan eksternal.

Ancaman dari para pihak yang memegang senjata; baik dari TNI/Polri sebagai ujung tombak pertahanan dan keamanan Pemerintahan Republik Indonesia, maupun dari GAM yang dianggap sebagai pejuang, tidak boleh dianggap enteng.

Salah memberitakan resikonya, nyawa pekerja pers bisa melayang dan tidak mustahil prinsif komersial pers juga akan gulung tikar karena karya jurnalistiknya “dibredel”. Pada saat media memberitakan tidak menyenangkan hati para pihak yang berkonflik, pada kenyataannya, ada wartawan yang diancam, mobilnya dibakar dan ditembak.

Pada kurun waktu 1999-2005, kami mencatat “agenda setting” media massa bergantung kepada “arah angin”. Kalau anginnya yang menguasai lapangan adalah GAM, maka media turut mendukungnya, sebaliknya kalau yang kuat pemerintah, maka media massa akan mengikuti arah angin, berpihak kepada pemerintah.

Antara tahun 1999-2000, pers atau media massa di Aceh “terpaksa” berpihak sepenuhnya kepada GAM, hal tersebut dibuktikan dengan tiada berita tanpa pernyataan juru bicara, panglima. Bahkan ucapan panglima sagoe-pun sudah menghiasi halaman media cetak.

Situasi itu juga dipengaruhi sosok kharismatik Panglima GAM, Tengku Abdullah Syafi’i yang sangat cerdas dan terbuka. Beliau pandai memainkan isu dan memiliki hubungan dekat dengan para wartawan. Sehingga berita pada media massa lebih “berwarna”, bukan saja soal perang, tetapi juga sudah masuk ke wilayah infotainmen dengan keterlibatan artis dan tokoh-tokoh populer.

Masa itu bisa disebut “tahun-tahun keemasan” bagi GAM. Struktur dari pusat sampai ke kampung-kampung sudah tersusun rapi. “Menurut adat” tidak mungkin Aceh tidak merdeka, namun takdir berkata lain. Kami menduga, pembiaran Pasukan GAM bereuforia oleh pemerintah lebih kepada “operasi senyap” intelijen Indonesia untuk mengukur kekuatan GAM.

Memasuki tahun 2001-2002, media massa sudah mulai “berayun-ayun” kadang headlinenya memblow-up kekuatan dan reaksi Pemerintah Indonesia dengan kekuatan militernya serta pemberitaan rencana operasi dengan segala macam sandi.

Sesekali juga GAM menguasai dan mengarahkan pemberitaan, terutama menjelang jeda kemanusiaan, khususnya dalam “Peristiwa Cot Trieng” yang terlalu berlebihan dalam memberitakannya. Bahkan panglima-panglima GAM yang berada di barat selatan pun mengaku sedang berada di Paya Cot Trieng.

Pada Mei 2003, Pemerintah Indonesia menerapkan Darurat Militer. Keputusan pemerintah itu, bukan saja menjadi musibah bagi Aceh, tetapi juga bagi pers yang dipaksa untuk tidak memberitakan yang berkaitan dengan GAM. Dalam masa itu, media yang berkantor di Aceh benar-benar tiarap untuk bisa selamat.

Sikap pers, sejak masa damai Aceh, 15 Agustus 2005 cepat berubah dengan menganut “jurnalisme damai” yang bertujuan sebagai akselerasi agar terwujudnya damai abadi di Aceh. Peran pers sangat strategis dalam mengakhiri perang selama 32 tahun di Aceh.

Bagi kami, Pasukan GAM Wilayah Linge pada waktu itu, sangat sadar tentang arti penting pers. Keterbatasan alat perang diimbangi dengan dukungan pemberitaan media massa. Semua itu berkat hubungan baik antara pasukan dengan pekerja pers yang bertugas di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Akhirnya kami seluruh jajaran mantan kombatan GAM Wilayah linge mengucapkan “Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari 2021” yang mengangkat tema Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, dan Pers sebagai Akselerator Perubahan.

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge