Iklan DPRK Aceh Utara untuk JMSI

Iklan Lintas Nasional

Refleksi 15 Tahun Damai Aceh: Jodohku Seperti ‘Alif Lam Mim’ Hanya Allah yang Tahu

Oleh: Fauzan Azima

Pada hari Sabtu, 15 Agustus 2020, damai RI-GAM genap 15 tahun. Dari segi keamanan pencapaiannya cukup signifikan. Tidak ada kasus kekerasan di Aceh yang mengatasnamakan para pihak yang berdamai. Kalau adapun nyalak senjata itu murni hanya kriminal biasa.

Dari beberapa masalah, salah satunya, dari sisi pelaku para pihak yang berdamai, khususnya mantan kombatan GAM yang meninggal dunia dapat disimpulkan bahwa usia rata-rata harapan hidup mantan GAM hanya 51 tahun atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan usia rata-rata harapan hidup nasional 71 tahun.

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek mengatakan, “Usia harapan hidup laki-laki Indonesia 69 tahun, sedangkan perempuan Indonesia berusia 74 tahun atau rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia 71 tahun. Bandingkan dengan negeri tetangga Singapura, usia sehat sampai 74 tahun dari rata-rata usia mereka 84 tahun.

Andai kondisi ini terus berlangsung maka 26 tahun lagi atau tahun 2031 tidak ada lagi mantan kombatan GAM yang bercerita bagaimana dahsyatnya perang di daerah Alue Papeun, Wilayah Pasee yang melibatkan perang antara GAM dan TNI yang masing-masing melibatkan 1000 pasukan dan disertai dengan serangan TNI AU dengan Helicopter, pesawat Bronco dan pesawat tempur produksi Rusia, Sukhoi.

Beberapa faktor penyebab usia harapan hidup mantan kombatan GAM rendah adalah selama bergrilya; makan dan tidur tidak teratur, makan makanan mengandung racun, putus saraf karena serangan mendadak dari TNI/Polri, trauma, lemah jantung, menderita penyakit malaria, typus, terkilir, mandi di sungai yang airnya berasal dari akar pohon beracun, kurang menikmati cahaya matahari pagi, kurang hiburan, merasa bersalah dan rindu kepada keluarga.

Pada saat damai pun tidak mengikuti pola hidup sehat; tidak makan makanan bergizi yang memenuhi standar 4 sehat 5 sempurna dan kurang berolah raga serta masih mengidap penyakit bawaan selama bergerilya di dalam hutan, rawa dan tempat-tempat yang tidak lazim lainnya.

Seharusnya salah satu butir perjanjian damai adalah pemeriksaan kesehatan dan psikologis para mantan kombatan GAM. Kalau ada kekhawatiran mantan kombatan “takut dikhianati” bisa diatur kesepakatan untuk “Medical chek up” atau pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh, serta pemeriksaan psikologi kesehatan mental dilakukan oleh dokter-dokter yang independent dan professional dari luar negeri.

Masih terbuka ruang bagi Pimpinan GAM melakukan “permintaan khusus” kepada Pemerintah Indonesia atau lewat Juru Damai Mantan Presiden Finlandia, Marthi Antasari untuk melakukan “General chek up” bagi seluruh mantan kombatan GAM yang tujuannya tidak saja urusan kesehatan mantan kombatan yang sudah berintegrasi dengan masyarakat tetapi juga memperbaharui hubungan baik antara sesama anak bangsa.

Masalah serius lainnya adalah esensi dari perjuangan GAM adalah mengembalikan kepemilikan dan pengelolaan tanah Aceh. Selama inti itu tidak terwujud, selama itu pula anak keturunannya akan bangkit bergerak menuntut sampai tujuan itu tercapai.

Lahirnya MoU Helsinky sangat menggembirakan bagi rakyat karena dianggap berpeluang Aceh mendapatkan kedaulatan atas Sumber Daya Alam (SDA). Sudah sewajarnya Aceh ditetapkan sebagai pemilik sah negeri ini, sedangkan negara adalah sebagai pengelola. Istilah dalam perusahaan, Aceh sebagai komisaris atau pemegang saham dan negara sebagai direktur utama yang menjalankan perusahaan.

Pihak direktur utama tidak bisa membuat keputusan apapun tentang misi perusahaan, kecuali harus minta izin kepada komisaris. Posisi komisaris jauh lebih kuat daripada direktur utama. Prinsif inilah yang harus difahami oleh orang Aceh. Kita sudah punya lembaga Wali Nanggroe menjalankan itu, namun disayangkan lembaga bergengsi itu hanya dijadikan lambang saja karena orang-orang di keliling YM Tengku Malek Mahmud tidak faham hakikat perjuangan.

Berbeda lagi dengan sikap sebagian orang-orang masih mempermainkan jiwa rakyat Aceh. Terutama menjelang Pileg dan Pilkada dengan menghembuskan angin surga dengan ungkapan, “sibak rukok teuk” Aceh akan merdeka dan “bendera bintang buleun” akan berkibar. Cerita itu diulang-ulang selama 15 tahun. Kadang kala sekali-kali kita patut bertanya, siapakah penghembus cerita itu? Benarkah mereka berjuang? Benarkah hati nuraninya benar untuk rakyat?

Sekarang bukan saatnya berharap “Aceh Merdeka” dan “bintang buleun” bebas berkibar di Bumi Iskandar Muda dengan berpangku tangan, tidak bekerja, berharap dengan mengemis, tetapi bekerja dan berusahalah seperti biasa, berintegrasi dengan masyarakat, berjaringan, berbaik-baik dengan siapapun, tidak membangun kebencian, tidak sombong, dan berkasih sayang kepada semua makhluk. Jangan fikirkan soal kapan merdeka dan bintang buleun berkibar. Sekali lagi jangan fikirkan! Anggap “barang itu” layaknya “Jodohku seperti Alif Lam Mim; hanya Allah yang tahu.”

Penulis Merupakan Mantan Panglima GAM Wilayah Linge