Opini  

Dilema Kasus Irwandi Yusuf

Oleh: Auzir Fahlevi SH

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya telah melakukan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung dengan menjebloskan eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ke Lapas Sukamiskin Bandung pada tanggal 14 Februari 2020.

Prosesi itu dilakukan tentu saja usai Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dan memotong vonis hukuman terhadap Irwandi yang semula 8 tahun menjadi 7 tahun penjara.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pada putusan pengadilan negeri tingkat pertama atau berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat,Irwandi mendapat vonis 7 tahun penjara dan denda 300 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima suap dari proyek-proyek dana otsus aceh.

Pasca putusan tersebut, seolah tak puas Jaksa Penuntut Umum, KPK mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan kemudian Pengadilan Tinggi jakarta mengabulkan permohonan banding dari JPU KPK dengan memperberat hukuman penjara terhadap Irwandi dari 7 Tahun penjara menjadi 8 Tahun penjara.

Hasil putusan banding tersebut kemudian dilakukan upaya Kasasi ke Mahkamah Agung dan endingnya Mahkamah Agung memutus perkara bernomor 444.K/PID.SUS/2020 pada kamis tanggal 13 Februari 2020 dan menyatakan “tolak perbaikan” dengan subtansi putusannya yaitu Mahkamah Agung memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Jakarta kembali menjadi 7 Tahun penjara tapi tetap mencantumkan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 Tahun.

Menurut keterangan Mahkamah Agung yang disampaikan oleh Jubir MA Andi Samsan Nganro disebutkan bahwa hakim di pengadilan tinggi jakarta tidak dapat memberikan alasan konkret atas dasar apa hukuman terhadap Irwandi itu diperberat.

Majelis Hakim yang mengadili kasasi Irwandi terdiri dari Hakim Agung Surya Jaya, Krisna Harahap dan Askin justeru berpendapat bahwa Irwandi adalah sosok yang ikut berjasa bagi negara terutama dalam konteks perdamaian di Aceh bahkan yang perlu digarisbawahi ternyata Hakim Mahkamah Agung itu juga menyatakan bahwa kasus Suap atau Korupsi yang dialamatkan terhadap Irwandi belum menimbulkan unsur kerugian negara sehingga itu menjadi pertimbangan hakim kasasi untuk mengurangi pidana penjara Irwandi walau hanya satu tahun.

Kasus yang menjerat Irwandi selaku Gubernur Aceh pada saat itu bersama dengan beberapa koleganya seperti Bupati Bener Meriah menarik untuk ditelisik lebih jauh.hal ini tentu saja tidak terlepas dari perjalanan masa Pemerintahan Irwandi-Nova yang baru berjalan lebih kurang setahun.artinya kebijakan dan program aceh hebat yang digembar-gemborkan oleh Irwandi-Nova tidak sepenuhnya dapat direalisasi karena Irwandi selaku “pilot” maskapai Pemerintah Aceh sudah telanjur bermasalah dengan KPK.

Kasus yang menjerat Irwandi dalam pemahaman sebagian masyarakat awam tidak dianggap sebagai bagian dari sebuah penegakan hukum atau yuridis melainkan sudah “terkontaminasi” dengan unsur politis.

Diakui atau tidak, ketika Pengadilan sudah memutuskan salah satu point putusannya dengan mencabut hak politik Irwandi selama 5 Tahun untuk dipilih pasca menjalani hukuman penjara maka ini dapat diterjemahkan sebagai upaya “Pembunuhan” karier politik Irwandi yang dianggap masih populis di tataran masyarakat level bawah. Program Irwandi pada masa Kepemimpinan Irwandi bersama Muhammad Nazar dan kemudian berlanjut dengan Nova Iriansyah melalui Jaminan Kesehatan Aceh(JKA)dan beasiswa anak yatim serta pembangunan rumah dhuafa menjadi salah satu investasi sosial dan moral Pemerintahan Irwandi yang kemudian melahirkan simpati dari masyarakat Aceh.

Unsur politis tidak dapat dipisahkan dari perjalanan kasus Irwandi dan itu bisa dinilai dari dinamika yang terjadi sekarang pasca Irwandi dieksekusi usai putusan kasasi Mahkamah Agung, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah selaku “Copilot” Irwandi dinilai gagal membangun ukhuwah dan komunikasi apik dengan Irwandi pasca berkasus di KPK. Ini kemudian menuai kecurigaan dari beberapa kalangan bahwa Nova Iriansyah merasa diuntungkan dibalik terdepaknya Irwandi dari kursi Gubernur Aceh.

Pada posisi ini Nova Iriansyah selaku “Copilot” tidak mampu menunjukkan sense of care terhadap Irwandi,bisa saja ini terjadi karena Nova Iriansyah berada dalam intervensi atau setiran pihak lain.dalam konteks ini, tentu saja ada yang memaklumi dan ada yang tidak.

Kembali pada persoalan Pencabutan hak politik Irwandi dan soal belum timbulnya unsur kerugian negara dalam putusan kasasi Mahkamah Agung menggambarkan satu indikator bahwa kasus Irwandi itu terkesan dipaksakan, kasarnya memang dijadikan OTT alias On The Target. mau skala kesalahannya itu kecil, bagaimanapun dia harus tetap dihukum, perlakuan yang dilakukan oleh KPK terhadap Irwandi itu memang sangat kentara dan berbeda dengan pejabat lain yang berurusan sama dengan KPK, lihatlah bagaimana Irwandi itu ditangkap lalu ditahan dan dibawa dengan mobil Baracuda seolah olah dia tahanan teroris, padahal Irwandi sangat koperatif saat diperiksa di Mapolda Aceh oleh penyidik KPK.

Cobalah sedikit mereview kasus dana hibah 650 Milyar untuk Eks kombatan GAM (walau sebagian dana itu tidak dinikmati oleh eks kombatan GAM)tapi bagaimana kasusnya sekarang.lalu soal dana beasiswa mahasiswa aceh, kasusnya mandek sampai sekarang,kenapa? apakah karena diduga melibatkan orang orang yang dianggap akan menimbulkan ancaman konflik lagi di Aceh sehingga penegakan hukum jalan ditempat?

Kalaulah Irwandi memang dianggap “berjasa” bagi negara dan perdamaian aceh lalu kenapa hukuman yang diberikan kepada Irwandi seperti hukuman kepada seorang separatis atau pemberontak negara?

Kedepan kita akan sulit menemukan orang-orang yang mau mengabdi dan berkontribusi untuk kepentingan umum bahkan negara sekalipun karena suatu saat hal itu tidak berarti apa-apa dan inilah realitas yang dihadapi oleh Irwandi, rasa-rasanya apa yang menimpa Irwandi juga tidak jauh berbeda dengan kasus mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh pada puluhan tahun silam, betapa banyak dari kita yang menghujatnya ketika itu, tapi seiring waktu berjalan semua pelan pelan terungkap dengan sendirinya, begitu pula dengan Irwandi, betapa banyak dari kita yang menghujatnya tapi semua itu nantinya juga akan terungkap pelan-pelan karena kebenaran tidak akan pernah lekang oleh waktu.Insya Allah….!

Penulis adalah Putra Aceh Timur, Anggota Ikatan Advokat Indonesia(Ikadin).