Opini  

“Makmeugang”, Tradisi Warisan Nenek Moyang di Aceh

Oleh: ASNAWI, SPd. MSN

Indonesia tidak hanya dikenal dengan tanahnya yang subur akan tetapi indonesia memiliki kekayaan Tradisi dan budaya yang luar biasa unik dan beraneka ragam. Salah satu tradisi yang beberapa hari lagi akan di laksanakan adalah Tradisi Makmeugang Aceh.

Tradisi warisan nenek moyang itu Juga disebut “Uroe meugang”, yaitu pada hari itu umumnya kaum Adam pergi ke pasar untuk membeli daging, kemudian dimasak dan dimakan bersama sama keluarga. Tradisi sakral tersebut digelar untuk menyambut Hari raya Idul Fitri, Hari raya Idul Adha, dan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Tradisi makmeugang tergolong sangat unik dan langka, karena tradisi ini tidak ditemukan pada bangsa atau suku lain di daerah lain di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. sehingga timbul berbagai tanda tanya dan kontrofersi dari kalangan tertentu di luar Aceh terkait asal muasal makmeugang tersebut. semisal ada banyak orang di luar sana yang berasumsi negatif terhadap tradisi makmeugang, Ada juga yang menganggap tradisi makmeugang itu ide gila. Bahkan ada yang mengklaim orang Aceh jarang makan daging, Benarkah? Mari kita telusuri Asal muasalnya.

Sejarah Singkat Makmeugang

Dari berbagai literatur sejarah, disebutkan bahwa Makmeugang pertama kali muncul pada abad ke 14 masehi yaitu seiring pengembangan ajaran islam di Aceh, namun tradisi tersebut diperkirakan tidak meluas ke seluruh Aceh, kemudian pada abad ke-16 Masehi, Yakni pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh Darussalam (tahun 1607 M). ide “Makmeugang” itu dicetuskan oleh Sultan Iskandar Muda agar supaya digelar secara merata di seluruh wilayah kejarajan Aceh hingga ke Asahan dan Barus yang kini masuk dalam Provinsinsi Sumatra Utara.

Saat itu Istilah makmeugang dicantumkan dalam Qanun Meukuta Alam, yakni Undang-Undang yang berlaku pada masa Kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Pada hari makmeugang, Sultan dan pembesar kerajaan selalu memotong hewan dalam jumlah banyak, kemudian dagingnya dibagi-bagikan secara gratis kepada rakyat, sebagai bentuk rasa syukur atas kemakmuran kerajaan sekaligus wujud terima kasih untuk rakyatnya dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan dengan hati gembira bersama sang Raja dan Pembesar kerajaan, mungkin kegiatan seperti ini patut dicontohkan oleh kepemimpinan masa depan. Jadi pemimpin tidak terkesan hanya menemui rakyatnya ketika musim pemilu atau ketika bencana melanda.

Keberhasilan Sultan Iskandar muda dalam menerapkan sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, maupun sosial serta perannya dalam segala hal termasuk dalam dunia internasional tak luput dari dasar pondasi Tradisi dan budaya serta Agama yang kuat dan tangguh yang menjadi acuan dan rujukan. Ketangguhan pemerintahannya saat itu dilatar belakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur tatanan masyarakat Aceh yang menjadi salah satu segmen peradaban manusia (Civilization of human right). Yang tersimpul dalam nilai-nilai filosofi Narit maja (Hadih madja). Narit maja inilah yang menjadi pijakan kreasi tradisi dan budaya yang dikenal dengan motto : Adat ngon hukom (hukum Agama), Lagei zat ngon sifeut. Yang stuktur implimentasinya disimpulkan dalam “Adat bak poe teumeuruhom, Hukom bak syiah kuala, Kanun bak putroe phang, Reusam bak laksamana”. yang kemudian dijadikan sebagai way of life (landasan filosofis).

Selanjutnya Pada tanggal 27-12-1636 Masehi, Sultan Iskandar muda Yang dikenal gagah, adil dan bijaksana meninggal dunia, Kerajaan dipimpin oleh Raja raja setelahnya, tak lama kemudian Aceh dijajah oleh Belanda, sehingga kerajaan menjadi bangkrut. Lalu rakyatlah yang berpartisipasi memotong sapi atau kerbau pada hari makmeugang. Tradisi makmeugang tetap dipertahankan oleh masyarakat Aceh ketika peperangan hingga sekarang meskipun kemajuan zaman sudah begitu canggih. Bahkan walau berada di belahan negara manapun, orang yang berdarah Aceh Asli biasanya akan melaksanakan tradisimakmeugag tersebut.

Manfaat Makmeugang

Selain tradisi makmeugang, di Aceh juga banyak tradisi-tradisi daging lainnya yaitu kenduri laut, kenduri blang, kenduri pesta perkawinan, peusijuek, peu troen aneuk dan lain-lain, yang tentunya sangat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama anak yatim dan fakir miskin. Bicara soal kemiskinan tak hanya di alami oleh masyarakat Aceh, dan Tak dapat dipungkiri bahwa Hampir di setiap negara di seluruh dunia tentunya terdapat masyarakat miskin, malah di negara tertentu terdapat masyarakat miskin yang mengindap penyakit akibat kekurangan gizi. dan hal tersebut diharapkan tidak pernah menimpa masyarakat miskin di Aceh dikarenakan di Aceh Banyaknya tradisi makan Daging.

Saat ini Pada hari makmeugang, jika ada warga miskin yang tidak sanggup membeli daging, biasanya daging akan diberikan oleh tetangga atau orang kaya. Bahkan pemerintah dan pejabat militer di Aceh akan berpartisipasi dalam membagi-bagikan Daging gratis sekaligus menyantuni anak yatim dan fakir miskin pada hari makmeugang tersebut.

Faidah lain yang terkandung dalam pelaksanaan tradisi makmeugang yaitu terjadinya interaksi sosial antara Pemerintah dan masyarakat saat membagikan daging untuk warga miskin, Selain itu, terjadinya silaturrahmi dan kebersamaan sesama warga atau anggota keluarga. Karena biasanya warga yang merantau ke luar kota, akan pulang kampung untuk menikmati daging makmeugang bersama keluarga, sehingga terjadilah silaturrahmi.

Pada hari itu juga mendorong tumbuhnya ekonomi rakyat, karena pada hari makmeugang akan terjadi transaksi jual beli dalam jumlah besar. Selain jual beli daging, berbagai kebutuhan dapur laku keras pada hari itu.

Memiliki Nilai Religius

Tradisi makmeugang di Aceh senarnya memiliki nilai religius, hal ini dikarenakan makmeugang selalu digelar pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam,misalnya seperti menyambut bulan suci ramadan, dimana masyarakat Aceh akan mencurahkan segala kegembiraannya dalam menyambut bulan suci ramadan dengan menggelar makmeugang.

Tentu saja nenek moyang orang Aceh terdahulu berpedoman pada Hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini :
“Barangsiapa merasa gembira dengan datangnya bulan Ramadhan, Maka Allah mengharamkan badan orang itu masuk neraka”.

Tradisi “Meugang” juga sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi rezeki, sehingga para dermawan akan membagi-bagikannya untuk fakir miskin pada hari “Meugang”.

Ketika Wali kota Lhokseumawe Suaidi Yahya mengguncang dunia Maya dengan himbauan larangan Wanita duduk ngangkang di atas sepeda motor, pada suatu diskusi disalah satu Radio di kota lhokseumawe, beliau mengungkapkan sebagai berikut “Setiap suku bangsa diseluruh dunia memiliki tradisi dan budaya yang berbeda, ketika tradisi dan budaya suatu bangsa hilang, maka hilanglah jati diri bangsa tersebut­­­­­­­­­.

Dari sedikit uraian diatas Setidaknya dapat kita pahami bahwa bangsa indonesia, khususnya masyarakat Aceh perlu mempertahankan tradisi dan budaya yang ada. Mengigat tradisi dan budaya merupakan bagian dari kekayaan negara (heritange). yang tentunya tidak dimiliki kesamaannya oleh negara lain.

Oleh karenanya “Mari sama-sama kita memperkenalkan asal usul tradisi dan budaya pada generasi kita, sehingga nantinya anak cucu kita tetap menghargai dan memelihara tradisi-tradisi dan budaya yang ada di tanah air yang kita cintai ini. Wallahu’alam bi al-shawab.

Penulis Merupakan Staf Pengajar Dan Pelestari Seni, Budaya, Adat, Tradisi, dan Sejarah Aceh.