Dengan Bismillah, segala puji bagi Allah yang Maha Rahman, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah menitipkan dunia kepada insan pilihan, Muhammad SAW, yang telah menitipkan negeri-negeri pada pemimpin yang adil, juga telah menitip Bireuen pada seorang Muzakkar yang arif dan bijaksana.
Sungguhlah tiada keraguan lagi bagi masyarakat Bireuen pada umumnya dalam menerima Muzakkar sebagai seorang bupati yang di pundaknya dipikul keberlangsungan hidup orang banyak. Siapa yang berani mengusiknya? Tentu tidak ada, sebab Tuhan telah menitipkan amanah kepada Muzakkar untuk memimpin Bireuen: memimpin semua makhluk hidup mulai dari pasie Jangka sampai ke rimba Gunong Goh!
Ditangan bijak Muzakkar, Tuhan telah melimpahkan ratusan ribu amanah dari keluh-kesah umatnya, pun ratusan ribu cita-cita masyarakat Bireuen, bahkan puluhan perut yang kelaparan untuk diberi makan. Tuhan benar-benar telah menitip Bireuen pada seorang Muzakkar dengan penuh kudrah dan karunia-Nya untuk memimpin ratusan insan di kota santri tersebut.
Namun, sebagai seorang manusia, sumber daya primer untuk merealisasi dan mengimplementasikan manajemen sosial adalah dengan rasa kasih sayang dan pengayoman. Hal itulah yang mungkin dimiliki oleh seorang Muzakkar tatkala dirinya telah menerima amanah dari Tuhan.
Hanya kalau terpaksa kadangkala harus menggunakan kekuasaan dalam mengatur manajemen pemerintahannya. Barangkali pula juga sesekali menerapkan kekuatan kekuasaan dalam keadaan darurat dan pencekik seperti sekarang ini.
Akan tetapi, sebagai seorang kepala pemerintah yang amat utama dibutuhkan oleh rakyat Bireuen kepada seorang Muzakkar adalah etos kerja dan sentuhan-sentuhan nyata dari tangannya yang lembut dan bijaksana. Hal itu pula yang amat berlaku dalam mengelola masyarakat, atau perusahaan, dan pemerintahan yang serba majemuk ini.
Bahkan alangkah beruntungnya Muzakkar, ketika ada rakyat yang mengkritisinya, menghujatnya, mencaci-maki, dan mencelanya, ia tetap membalasnya dengan penuh kasih sayang. “Mungkin, ia merasa bahwa dirinya bukanlah pemimpin yang bersalah”.
Hampirlah benar seperti yang dikatakan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun dalam bukunya yang berjudul “Pemimpin Yang Tuhan”. “Rakyat yang paling sial di suatu desa, atau yang paling celaka di suatu negara, ialah kalau pemimpinnya tidak punya rasa bersalah”. (Hlm. 223).
Faktornya, “Banyak sekali. Umpamanya, orang menjadi pemimpin karena ambisi pribadi. Menjadi pemimpin karena karir. Menjadi pemimpin karena direkayasa oleh penjudi dan penjahat. Menjadi pemimpin untuk menumpuk kekayaan,” kata Cak Nun.
Akan tetapi, dalam kontek lain Muzakkar menjadi pemimpin karena takdir. Menjadi pemimpin karena nasib baik. Menjadi pemimpin karena ilham Tuhan. Menjadi pemimpin karena amanah Allah SWT. Bukan karena ambisi dan hasrat memupuk kekayaan. Walaupun ketika ia sudah menjadi bupati banyak penjahat dan mafia yang menggodanya, bahkan ingin meminit kekuasaannya.
Namun begitu, pada masa jabatannya yang hendak berakhir, pun bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) kabupaten Bireuen yang ke-22, sangatlah patut rasanya bagi kita semua untuk memberikan hadiah atau apresiasi kepada Muzakkar.
Sekecil-kecilnya hadiah tak lain dengan mendoakan ia “menjadi pemimpin yang amanah dan tak pernah bersalah”. Sebagaimana frames yang diasumsikan khalayak ramai selama ini, baik secara lahir maupun batin.
Maka bila itu terjadi dan menjadi kebenaran, Sungguhlah Muzakkar menjadi insan terpilih yang menerima amanah dari Allah SWT yang Maha bijaksana lagi penyayang.
Bagaimana tidak, hari ini ditangan apik seorang Muzakkar, Bireuen tampil dan terampil sebagai kota yang memiliki banyak gelaran agung, seperti “kota sunyi senyap, kota narkoba, kota ija krong, kota santri, juga gelar yang lebih megah lagi adalah kota bimtek” yang baru-baru ini dicetuskan. Semua sematan itu lahir dari rakyatnya sendiri.
Mungkin, di lain sisi lahirnya gelaran agung tersebut juga bukanlah hal yang serta merta dan ada dengan sendirinya, tetapi memiliki riwayat serta perjuangan besar, pun tumbuh melalui telaah panjang dari ketabayunan seorang Muzakkar beserta para jamaahnya di tirai ketahajudan yang panjang.
Di saat orang-orang di kampung kami bercerita tentang “kenapa bukan Ulama saja yang menjadi bupati?” “Kenapa pendiri Bireuen tidak duduk memimpin Bireuen?” Pula kenapa bukan anak-anak muda hebat yang mengisi birokrasi dan parlemen Bireuen?” Lagi-lagi ada di antara mereka yang menjawab, “Allah telah menitip Bireuen kepada Muzakkar.” Ia seorang pemimpin yang arif dan bijaksana.
Betapa bijaksananya Muzakkar sebagai seorang Bupati di Bireuen tercinta ini. Sampai sejauh singgasananya ia masih terlihat arif, luwes, mawas, dan biasa-biasa saja, terlebih tak pernah dikutuk atau-pula dimurkai oleh rakyatnya sendiri. Melainkan sebaliknya, disanjung puji bagaikan seorang pemimpin sejati.
Sebagai seorang Bupati yang “rahmatan” dan “fatanah”, Muzakkar tak hanya mendapat ragam penghormatan dan apresiasi dari para bawahan serta rakyatnya semata. Bahkan, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bireuen yang memiliki kedudukan yang sama dengan seorang bupati secara konstitusi juga berulang-kali mengapresiasi kinerja Muzakkar yang seakan “shidiq” menjalankan roda ke-pemerintahan Bireuen selama ini.
Apresiasi DPRK untuk seorang bupati tunggal seperti Muzakkar tidak lahir secara serta merta dan sekadar basa-basi semata sebagai langkah awal kedua lembaga tersebut membuka pembicaraan, melainkan sah secara hukum, hal itu tertulis dengan legalitas, juga sering disampaikan oleh masing-masing Fraksi di DPRK Bireuen dalam setiap paripurna rakyat.
Apresiasi itu pula yang telah ikut-serta disampaikan oleh rakyat Bireuen, namun terwakili dan diwakili langsung oleh masing-masing wakil rakyatnya di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Selanjutnya, di halaman 233, dalam buku yang sama, Cak Nun kembali mengatakan, manusia yang paling sial di dunia ini adalah yang tak seorang-pun berani menyalahkannya. Pemimpin yang paling berbahaya bagi rakyatnya adalah pemimpin yang semua orang tidak berani mengemukakan kebenaran kepadanya, baik karena takut, kepentingan untuk menjilat, maupun karena sikap kemunafikan. Ketika pemimpin ini bertelanjang bulat pun, bawahannya membungkuk dan bilang, “Jas dan dasi bapak bagus sekali.”
Namun, ciri pemimpin yang dimaksud Cak Nun dalam bukunya sedikitpun tak mencerminkan tipikal pemimpin seperti seorang Muzakkar, bupati yang begitu responsif, komunikatif, dekat dengan rakyatnya, serta selalu mendengar nasehat dan masukan dari para alim ulama, tokoh masyarakat, cerdik pandai, juga para cendikiawan. Sebab, sebagai seorang bupati, ia adalah pemimpin impian rakyat Bireuen sekalian alam.
Terlepas dari semua itu, amatlah berbanding terbalik bila mengkolaborasikan sikap keramah-tamahan dan kebijaksanaan seorang Muzakkar dengan ragam corak karakter masyarakat Bireuen bila dilihat dari realita yang terjadi di tengah-tengah khalayak.
Sebagaimana diketahui, dari ragam macam karakter masyarakat Bireuen yang arif, kosmopolit, dan visioner, terdapat kurang lebih tujuh-puluh persen diantaranya yang berwatak keras. Dalam hal ini, sungguh tak akan selaras antara rakyat dan pemimpin. Hampir semua kebijakan pemerintah tak terafiliasi, karena hajat seorang bupati dengan keinginan rakyat sering bertolak-belakang.
Apapun soalannya, amat tak mudah menjadi seorang pemimpin, tak hanya seorang Bupati semata, dalam memimpin masyarakat yang majemuk seorang kepala desa sekalipun akan kewalahan dalam mengurus masyarakat. Tetapi, apapun masalahnya, amatlah wajib bagi kita untuk mendoakan serta taat kepada pemimpin.
Dengan demikian, sejauh perjalanan kepemimpinan Muzakkar, lintasnasional.com juga ikut memberikan apresiasi kepadanya sebagai wujud mematuhi setiap imbauan pemerintah, pun menjadi kewajiban bagi semua kita untuk tetap patuh terhadap pemimpin.
Sementara, tulisan ini tak serta merta hadir dengan sendirinya, namun dimulai dari analisa yang panjang, dari kehidupan masyarakat Bireuen sehari-hari, baik aktivitas mereka di media sosial (dunia maya) maupun dalam kehidupan nyata.
Salam!
Penulis: Adam Zainal