Iklan Lintas Nasional

Perang Aceh-Belanda, Kekalahan dan Dendam Paska Tewasnya Jenderal Kohler

Perang Aceh (1873-1942) kerap dinilai sebagai perang terberat dan terpanjang dalam sejarah perang yang dilakoni Belanda. Perang ini bagi Belanda juga termasuk perang ‘mahal’ dan berbiaya besar, misalnya 150 juta gulden untuk biaya selama tujuh tahun perang (1873-1880).

Pada kenyataannya penyerangan Belanda ke Aceh juga tidak berjalan mulus bahkan terkesan gagal, tewasnya Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler pada 14 April 1873 menjadi salah satu insiden buruk bagi Belanda.

Tewasnya Jenderal Kohler bisa berarti jadi penanda awal kekalahan Belanda sejak mengumumkan perangnya pada 26 Maret 1873. Padahal komposisi pasukan Kohler terdiri atas 168 perwira dan 3200 orang prajurit ini dilengkapi dengan senjata modern.

Pil pahit kekalahan harus ditanggung Belanda, tidak hanya menewaskan pimpinan pasukan Belanda, sebanyak 45 (termasuk 8 perwira) dinyatakan tewas. Sementara korban luka dari pihak Belanda mencapai 405 (termasuk 23 perwira).

Akibat kekalahannya rombongan pasukan Belanda harus meninggalkan Aceh pada 29 April 1873. Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Belanda untuk kembali menyerang Aceh.

Mundurnya pasukan Belanda tersebut mengakibatkan Belanda tak berkutik dalam melawan pejuang-pejuang Aceh, hingga akhirnya mengajukan genjatan senjata pada 7 Juni 1873. Saat itu hujan yang lebat di Aceh menjadi dalih Belanda untuk mengajukan genjatan senjata.

Misi balas dendam Belanda akhirnya dijalankan dengan mengutus pensiunan Panglima Perang Hindia-Belanda, J. Van Swieten untuk menggantikan Kohler.

Sejak Januari 1874 hingga 1881 Belanda melakukan aksi blokade di perairan Selat Malaka yang terbilang cukup sukses. Meskipun mendapat protes dari berbagai pihak saat itu termasuk Inggris.

Meskipun Belanda berhasil menduduki istana kerajaan yang telah kosong akibat ditinggal perang gerilya.

Traktat Sumatera, Sumber Persoalan

Sementara itu jauh sebelum perang Meletus (1873), sejak 1871, keluarnya Traktat Sumatera dinilai ancaman serius bagi Kesultanan Aceh Darussalam. Traktat ini menjadi sumber dari peperangan Aceh kepada Belanda.

Melihat potensi ancaman, pihak kerajaan tidak tinggal diam, mereka melakukan sejumlah aksi untuk bisa melawan pasukan Belanda. Aceh mulai merapatkan barisannya dengan menjalin komunikasi dengan sejumlah negara sahabat.

Penandatanganan Traktat Sumatra yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris pada 2 November 1871 sesngguhnya menjadi ancaman serius bagi kerajaan. Sebab perjanjian tersebut membebaskan Belanda untuk tidak lagi menghormati kedaulatan Kesultanan Aceh Darussalam.

Akibatnya Belanda semakin dipermudah untuk melakukan ekspansi wilayah di Pulau Sumatera. Traktat ini membuat Aceh akhirnya harus melakukan sejumlah kunjungan diplomasi.

Mengandalkan hubungan diplomasi bagi Aceh pada mulanya bukan prioritas utama seperti pada abad ke-16 & 17 ketika Aceh mampu mengusir Portugis. Namun kondisi ini berbalik pada saat Aceh akan menghadapi Belanda di akhir abad ke-19.

Diplomasi Yang Mengancam

Kerjasama menjalin diplomasi adalah salah satu cara bentuk pertahanan kerajaan yang berdiri sejak 1496. Upaya yang dilakuakn oleh Kesultanan Aceh ini rupanya dinilai sebagai ancaman serius bagi Belanda.

Berikut ini sejumlah langkah dan kebijakan yang ditetapkan oleh kerajaan Aceh. Mardanas Safwan dalam bukunya berjudul Teuku Umar (2007) menyebutkan bahwa ditengah situasi genting pasca traktat Sumatera, Aceh mengirim dutanya Habib Abdurahman ke Turki pada Januari 1873.

Peresmian Monumen Kenangan kapada Duta Kesultanan Aceh Darussalam Abdul Hamid

Selain itu pada akhir 1873 atau awal 1874 utusan Kesultanan Aceh juga melakukan upaya kerjasama dengan dengan negara lain seperti Amerika Serikat dan Italia melalui konsulnya di Singapura.

Bahkan pada pertemuan tersebut konsul Amerika telah mempersiapkan dokumen yang dikenang dengan Proposal of Atjeh-America Treaty.

“Perjanjian kerjasama antara Amerika Serikat dan Aceh bersama para utusan tersebut menghadapi ancaman pihak Belanda,” ungkap Mardanas Safwan.

Mardanas Safwan mengungkapkan pula bahwa pertemuan utusan Kesultanan Aceh Darussalam dianggap sebagai ancaman serius bagi Belanda. Sehingga pada 18 Februari 1873, Belanda meminta Gubernur Jenderal James Loudon untuk menambah pasukannya di Aceh.

“Belanda sangat khawatir dan tidak menyenangi adanya kekuatan lain yang akan turut memainkan peranan di Pulau Sumatera, seperti keadaan sebelum tahun 1824 (Traktat London),” jelasnya.

Aksi diplomasi Kesultanan Aceh inilah yang menjadi sumber kemarahan bagi Belanda untuk mendeklarasikan perang pada 26 Maret 1873. Namun penaklukkan Aceh bukan hal yang mudah bagi Belanda.

Belanda bahkan melakukan serangkaian tindakan mulai dari pergantian pimpinan perang, aksi blokade dari berbagai jalur, pengiriman tambahan pasukan hingga tindakan politik lunak pun dilakukan.

Perang Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Belanda jelang akhir abad XIX Masehi adalah peperangan paling dahsyat. Perang yang resmi berakhir pada 1904, namun ternyata baru selesai pada 11 Maret 1942, sejak pertama kali diumumkan Belanda pada 26 Maret 1873.

Perang melawan Kesultanan Aceh Darussalam merupakan perang pertama yang diumumkan resmi oleh pihak Belanda. Perang ini bahkan menjadi perang terlama sepanjang sejarah perang Belanda.

Paul van’t Veer, seorang wartawan Belanda dalam bukunya Perang Aceh ‘De Atjeh Oorlog’ (1969) juga menyebut Perang Aceh selama 69 tahun lamanya itu menempatkan Aceh sebagai daerah pertama yang terlepas dari usaha ‘invasi’ Belanda. Artinya Aceh satu-satunya daerah yang tidak bisa ditaklukkan oleh Belanda.

Dari perang yang berlangsung hingga puluhan tahun lamanya lahir sejumlah pejuang Aceh. Nama-nama mereka kemudian melegenda dalam ingatan kita sebut saja Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Teungku Chik Di Tiro, dan Teuku Umar.

Kekaguman Barat

Totalitas perjuangan pejuang Aceh menuai kekaguman Bangsa Barat. Mereka mengungkapkan kekagumannya pada para pejuang Aceh yang totalitas berperang dengan bergerilya bahkan ketika Kesultanan Aceh Darussalam telah disebut Belanda berhasil ditaklukkan.

Paul van’t Veer dalm buku yang sama ‘De Atjeh Oorlog’ mengungkapkan kekagumannya pada semangat jihad rakyat Aceh, “Apa bila kita baca buku-buku yang membahas perjuangan rakyat Aceh kita akan bangga akan suatu yang mereka perjuangkan. Perjuangan yang dilakukan tanpa mengenal kata menyerah. Yang mereka kenal hanya menang atau syahid. Sebagai contoh, pertempuran yang terjadi pada masa perang kolonial Belanda di Kota Reh, daerah Gayo-Alas pada tahun1904 yang telah menewaskan tidak kurang dari 189 wanita disamping 313 lakilaki dan 59 anak-anak. Selama tiga bulan pertempuran disana akibat keganasan tentara kolonial Belanda 2252 pejuang Aceh menjadi suhada sedangkan 829 di antaranya terdiri dari atas para wanita dan anak-anak.”

Selain Veer, jurnalis Barat lainnya seperti H.C. Zentgraaff dalam bukunya berjudul Atjeh juga mengungkapkan hal serupa.

“Dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita mendengar bahwa tidak ada suatu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik di dalam peperangan kecuali bangsa Aceh, para wanitanya pun memiliki keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita lain.”

Anthony Reid dalam bukunya The Contest for North Sumatra, The Netherlands Britain 1858-1898 juga mengungkapkan kekagumannya pada para pejuang Aceh yang bertempur mati-matian di Perang Aceh.

“Selama berabad-abad Aceh telah membuktikan kemampuan, baik dalam hal perdagangan, pertanian, maupun dalam bidang peperangan, selama tahun-tahun pertama melawan Belanda mereka telah membuktikan bahwa mereka layak memperoleh perhatian besar dari orang-orang Eropa dan kaum muslimin di dunia. Dalam hubungan ini Aceh juga telah memberikan sumbangan kepada pertumbuhan kesetiaan yang lebih tebal di Indonesia.”

Penulis: Kukuh Subekti
Sumber: Islam Today