Oleh: dr. Nisa Winanda
Masalah gizi saat ini masih terjadi di seluruh negara, baik yang disebabkan oleh gizi kurang maupun gizi lebih. Salah satu masalah kekurangan gizi adalah stunting. Saat ini stunting menjadi hal yang disorot ditengah kasus pandemik yang kian membaik. Hampir di seluruh negara kasus stunting ini masih ditemukan.
Indonesia sendiri menjadi negara dengan angka stunting yang tinggi yaitu sebesar 22,4%. Berdasarkan hasil survei status gizi yang dilakukan pada tahun 2021 Aceh memiliki angka stunting yang lebih tinggi dari angka nasional yaitu sebesar 33,2%. Secara tidak sadar masih sangat banyak kasus stuntingyang terjadi pada balita yang disekeliling kita. Tentu saja kondisi ini akan mengkhawatirkan bagi kualitas generasi penerus bangsa kedepannya.
Stunting merupakan suatu kondisi gagal tumbuh kembang pada anak balita (bayi dibawah lima tahun) yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) baik yang dialami oleh ibu hamil maupun saat bayi lahir dan berada dalam fase tumbuh kembangnya sehingga diperlukan penangan sedini mungkin untuk mencegah terjadinya stunting dan menangani kasus stunting yang telah dialami oleh balita.
Saat ini pemerintah sangat serius melakukan penanganan penurunan angka stunting di Indonesia, dimana pada tahun 2024 nantinya diharapkan target nasional prevelensi stunting dapat turun hingga 14%.
Pada 1000 HPK yang dimulai sejak masa konsepsi (pembuahan) diperlukan asupan gizi yang memadai dan sesuai bagi ibu hamil, baik dari gizi makro dan gizi mikro.
Oleh karena itu sangat penting bagi ibu hamil melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala ke tenaga kesehatan baik di Puskesmas, Rumah Sakit, maupun fasilitas kesehatan lainnya guna memantau kondisi ibu dan juga janin yang dikandungnya.
Saat masa kehamilan awal, organ – organ janin mulai terbentuk secara perlahan sehingga pada fase ini merupakan fase penentu agar pembentukan organ tersebut dapat terjadi secara baik dan sempurna. Kekurangan gizi pada fase ini dapat mengakibatkan organ seperti jantung, hati, pancreas, otak dan lainnya terganggu yang beresiko meningkatkan kecacatan saat bayi lahir ataupun bayi lahir dengan memiliki penyakit bawaan. Ibu hamil dengan asupan gizi yang rendah dan mengalami penyakit infeksi akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Saat anak usia 0 tahun hingga 5 tahun peran orangtua sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang anak dari segala aspek. Pemenuhan nutrisi di awal kehidupan sangat penting salah satunya melalui pemberian ASI eklusif. Ketua satgas ASI dari IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) dr.Naomi Esthernita mengatakan pemberian ASI eklusif secara baik selama 6 bulan pertama kehidupan bayi dapat mencegah terjadinya stunting dikarenakan kandungan didalam ASI sangat lengkap yaitu terdiri dari hormone pertumbuhan, vitamin hingga zat anti infeksi yang sangat berguna bagi bayi.
Organisasi kesehatan dunia WHO mengatakan resiko stunting akan meningkat jika bayi menerima makanan pendamping ASI atau melepas ASI eklusif terlalu dini, hal ini dikarenakan bayi akan lebih tertarik dengan makanan dibanding ASI sehingga bayi akan kehilangan nutrisi penting yang terdapat pada ASI dan dapat menyebabkan pertumbuhannya menjadi terhambat. Anak yang mengalami hambatan saat masa perkembangannya akan menyebabkan keterlambatan dalam berpikir dan bertindak pada saat dewasanya.
Selain faktor nutrisi yang harus sesuai dan tepat, intervensi lainnya yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting adalah memiliki sanitasi yang baik dalam rumah tangga dan juga lingkungan sekitar.
Sanitasi yang buruk dapat memicu timbulnya masalah kesehatan baru yang dapat menyerang ibu hamil maupun balita. Anak yang sering mengalami sakit dalam masa tumbuh kembang akan beresiko mengalami gangguan tumbuh kembang, dan nantinya anak akan tertinggal secara motorik dari teman seusianya.
Tersedianya air bersih juga sangat berperan bagi pencegahan stunting, air yang bersih dan layak dikonsumsi akan menurunkan terjadinya resiko pencemaran bakteri dalam air yang dapat memunculkan penyakit sehingga menurunkan pula peluang angka kesakitan yang dapat menyerang ibu dan balita. Balita yang mengalami stunting harus segera dilakukan intervensi tumbuh kejar (Catch-up growth) agar anak tidak lebih pendek dibanding anak se-usianya.
Disamping pertumbuhan dan perkembangan fisik anak yang terhambat, anak stunting umumnya memiliki tingkat kemampuan kognitif yang kurang berkembang secara maksimal. Hal ini tentu saja akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Saat ini penanganan stunting di Indonesia sudah semakin membaik, hal ini dibuktikan dengan terus menurunnya angka stunting yang ada di Indonesia.
Harapannya kita mampu memanfaatkan capaian bonus demografi pada tahun 2045 dengan memiliki kualitas SDM yang handal dan mampu bersaing secara global. Persiapan SDM untuk 20 tahun mendatang dimulai dari sekarang. Negara kuat adalah negara yang memiliki rakyat yang sehat!
Penulis Merupakan Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala