LINTAS NASIONAL – BANDA ACEH, Keterangan atau klarifikasi yang dikeluarkan oleh juru bicara Pemerintah Aceh Muhammad MTA dalam konferensi pers beberapa waktu lalu terkait dengan kode Apendik atau istilah lainnya dalam penggunaan APBA dianggap tidak dapat menjawab keraguan publik.
Hal itu disampaikan oleh Pengamat Poltik dan kebijakan publik Aceh Usman Lamreung pada Jumat 15 Juli 2021, katanya, pernyataan Jubir MTA tidak dapat menjelaskan apapun kepada masyarakat malah dianggap berbicara ngawur.
“Pernyataan-pernyataannya bukan hanya tidak tepat dan tidak relevan, tapi malah menambah kecurigaan publik atas bobroknya tata kelola pemerintahan di lingkup birokrasi Pemerintah Aceh,” kata Usman Lamreung
Salah satunya MTA menyebut istilah “sangat internal”, terminologi ini sangat mengada-ada. Dalam sistem tata kelola keuangan negara tidak pernah ada istilah ini.
Padahal lanjut Usman semua itu ada dasar hukumnya, ada aturan dan mekanisme termasuk dalam pengkodean atau pelabelan anggaran.
“Semua aturan wajib transparan, tidak boleh bias, dan tidak boleh multitafsir. Coding dan labelling anggaran tidak boleh dilakukan suka-suka dan serba rahasia, hanya diketahui oleh segelintir individu atau kelompok, jika terjadi maka itu adalah ilegal, melanggar hukum, tidak dapat dibenarkan, dan patut dicurigai adanya permainan anggaran,” lanjut Usman
Jubir juga menyebut istilah “tidak boleh diganggu”, jika kita memakai logika terbalik, maka kategori “tidak boleh diganggu” ini ibarat dua sisi dari sekeping mata uang, justru membuka “kotak pandora” fakta atau kategori sebaliknya, bahwa ada paket-paket kegiatan APBA yang “bisa diganggu”.
Hal itu sama dengan istilah “sangat internal” kedua bahasa ini juga tidak ada dalam aturan tata kelola keuangan negara. Jika sudah masuk dalam dokumen anggaran maka kegiatan-kegiatan itu harus dieksekusi sesuai dengan judul yang tertera dalam dokumen tersebut, tidak boleh berbeda dan menyimpang dari itu.
“Jadi tidak urusan dengan perkara “boleh diganggu” dan “tidak boleh diganggu”, jika terjadi juga, maka jelas itu ilegal,” imbuhnya
Menurut akademisi UNAYA tersebut Jubir juga menggunakan kalimat yang menggelikan dengan menyebut “Pak Gubernur menegaskan kalau kegiatan yang tidak lengkap dokumen dan berpotensi menimbulkan persoalan hukum, tidak boleh dieksekusi”.
Sebenarnya tanpa ditegaskan oleh gubernur pun, ini perkara teknis yang sudah sangat dipahami oleh para kepala SKPA yang rata-rata sudah puluhan tahun bekerja di Birokrasi. Jika kemudian mereka bertanya kepada gubernur perihal ini, itu sangat mungkin adalah indikasi bahwa ada proses-proses di tingkat perencanaan yang berada di luar sepengetahuan dan kendali mereka, sehingga membuat mereka merasa perlu meminta kejelasan dari gubernur agar tidak salah langkah dan meulanggeh dengan pimpinan. Juga fakta “kegiatan yang tidak didukung oleh dokumen”,
Klarifikasi Jubir, justru mengungkap bobroknya praktek-praktek penumpang gelap dalam manajemen perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Aceh, yang sangat mungkin disebabkan oleh infiltrasi berbagai kepentingan pribadi dan kelompok yang memaksakan kehendaknya menggarong uang rakyat Aceh,” lanjutnya
Sebutnya, bahasa hukum itu jelas, kalau tidak hitam ya putih, tapi Jubir justru mengklarifikasi dengan tipikal bahasa-bahasa “bersilat lidah” yang serba abu-abu, ya tidak nyambung.
“Saya beranologi klarifikasi Jubir yang bernada membela Pemerintah Aceh ini bagaikan orang yang meronta-ronta dalam lumpur hidup. Karena tidak tahu dan tidak memahami “fisika” lumpur hidup ia meronta-ronta hingga berakibat Pemerintah Aceh semakin dalam tersedot ke dalam “lumpur hidup” ketidakpercayaan rakyat Aceh,” pungkasnya
Sebelumnya Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Aceh, Muhammad MTA memberikan penjelasan tentang isu yang berkembang soal kode Apendiks dalam APBA 2021, menurutnya kode Apendiks hanya kode di internal Pemerintah Aceh yang diberikan untuk mempermudah kinerja. (Red)